Sejarah Perkembangan Demokrasi
Pada permulaan pertumbuhannya demokrasi telah mencakup
beberapa azas dan nilai yang diwariskan kepadanya dari masa yang lampau, yaitu
gagasan mengenai demokrasi dari kebudayaan Yunani Kuno dan gagasan mengenai
kebebasan beragama yang dihasilkan oleh aliran Reformasi serta perang-perang
agama yang menyusulnya.
Sistim demokrasi yang terdapat di negara-kota (city state)·
Yunani Kuno (abad ke-6 sampai abad ke·3 S.M.) merupakan demokrasi la.ngsung
(direct democracy) yaitu suatu bentuk pemerintahan di mana hak untuk
membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh
warga negara yang ber· tindak berdasarkan prosedur!mayoritas. Sifat langsung
dari demokrasi Yunani dapat diselenggarakan secara efektif karena berlang·
sung dalam kondisi yang sederhana, wilayahnya terbatas (negara terdiri dari
kota dan daerah sekitarnya) serta jumlah penduduk sedikit (300.000 penduduk
dalam satu negara-kota). Lagipula, ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku
untuk warga nega· ra yang resmi, yang hanya merupakan bagian kecil saja dari
pen·duduk. Untuk mayoritas yang terdiri dari budak belian dan pedagang asing
demokrasi tidak berlaku. Dalam negara modern demokrasi tidak lagi bersifat
langsung, tetapi bersifat demokrasi berdasarkan perwaki/an(representative
democracy).
Memasuki Abad Pertengahan (600-1400) gagasan demokrasi
Yunani boleh dikatakan hilang dari muka dunia Barat. Masyarakat Abad
Pertengahan dicirikan oleh struktur sosial yang feodal (hubungan antara vassal
dan lord); yang kehidupan sosial serta spirituilnya dikuasai oleh Paus dan
pejabat-pejabat agama lainnya; yang kehidupan politiknya ditandai oleh
perebutan kekuasaan antara para bangsawan satu sama lain. Dilihat dari sudut
perkembangan demokrasi Abad Pertengahan menghasilkan suatu dokumen yang
penting, yaitu Magna Charta (Piagam Besar) (1215). Magna Charta merupakan
semacam kontrak. antara beberapa bangsawan dan Rlija. John dari Inggris di
mana untuk pertama kali seorang raja yang berkuasa mengikatkan diri untuk
mengakui dan menjamin beberapa hak dan privileges dari bawahannya
sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan sebagainya.
Biarpun piagam ini lahir dalam suasana feodal dan tidak berlaku untuk rakyat
jelata, namun dianggap sebagai tonggak dalam perkembangan gagasan demokrasi.
Sebelum Abad Pertengahan berakhir dan di Eropa Barat pada
permulaan abad ke-16 muncul negara-negara nasional (national state) dalam
bentuk yang modern, maka Eropa Barat mengalami beberapa perubahan sosial dan
kulturil yang mempersiapkan jalan untuk memasuki zaman yang lebih modern di
mana akal dapat memerdekakan diri dari pembatasan-pembatasannya.
Sesudah berakhirnya Abad Pertengahan
antara 1500-1700 lahirlah negara-negara Monarcchi. Raja-raja absolut menganggap
dirinya berhak atas takhtanya berdasarkan konsep ”Hak Suci Raja” (Divine Right
of Kings). Raja-raja yang terkenal di Spanyol ialah Isabella dan
Ferdinand (1479- 1516). di Prancis raja-raja Bourbon dan sebagainya.
Kecaman-kecaman ..diontarkan terhadap gagasan absolutisme mendapat dukungan
kuat dari golongan menengah (middle class) yang mulai berpengauruh berkat
majunya kedudukan ekonomi serta mutu pendidikan.
Pendobrakan terhadap kedudukan
raja-raja absolut ini didasar suatu teori rasionalistis, yang umumnya
dikenal sebagai social-contract (kontrak sosiaI). Salah satu azas dari
gagasan kontral sosial ialah bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul
(nature) yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang universal: artinya
berlaku untuk semua waktu serta semua manusia, apakah dia raja, bangsawan atau
rakyat jelata. Hukum ini dinamakan Natural Law (Hukum Alam, ius-
naturale). Unsur universalisme inilah yang diterapkan pada masalah-masalah
politik. Teori kontrak sosial beranggapan bahwa hubungan antara raja dan rakyat
didasari oleh suatu kontrak yang ketentuan-ketentuannya mengikat kedua belah
fihak. Kontrak sosial menentukan di satu fihak bahwa raja diberi kekuasaan oleh
rakyat untuk menyelenggarakan penertiban dan menciptakan suasana di mana
rakyat dapat menikmati hak-hak alamnya (natural rights) dengan aman. Di fihak
lain rakyat akan mentaati pemerintahan raja asal hak· hak alam itu terjamin.
Pada hakekatnya teori-teori kontrak
sosial merupakan usaha untuk mendobrak dasar dari pemerintahan absolut dan
menetapkan hak-hak politik rakyat. Filsuf-filsuf yang mencetuskan gagasan .
ini antara lain John Locke dari Inggris (I632-1704) da Montesquieu dari
Perancis (1689-) 755). Menurut John Locke hak-hak politik mencakup hak atas
hidup, atas kebebasan dan hak untuk memiliki (life, liberty and property).
Montesquieu mencoba menyusun suatu sistim yang dapat menjamin hak-hak politik
itu, yang kemudian dikenal dengan istilah trias politica. Idee-idee
bahwa manusia mempunyai hak-hak politik menimbulkan revolusi Perancis pada
akhir abad ke-18, serta Revolusi Amerika melawan Inggris.
Sebagai akibat dari pergolakan yang tersebut di atas tadi
maka pada akhir abad ke-19 gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang
konkrit sebagai program dan sistim politik. Demokrasi pada tahap ini
semata-mata bersifat politis dan mendasarkan dirinya atas azas-azas
kemerdekaan individu, kesamaan hak (equal rights) serta hak pilih untuk semua
warganegara (universal suffrage)
Dalam abad ke-19 dan permulaan abad ke-20 lahirlah gagasan
mengenai demokrasi konstitusional. AhIi hukum Eropa Barat Kontinental seperti
Immanuel Kant (1724-1804) dan Friedrich Julius Stahl memakai istilah Rechtsstaat,
sedangkan ahli Anglo Saxon seperti A.V. Dicey memakai istilah Rule of
Law. Oleh Stahl disebut empat Unsur Rechtsstaat (negara demokrasi
yang berdasarkan hukum) dalam arti klasik, yaitu:
1) Adanya
perlindungan ak-hak manusia
2) Adanya
pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjaminhak- hak itu
3) Pemerirttah berdasarkan
peraturan-peraturan
4) Peradilan
administrasi dalam perselisihan.
Unsur-unsur Rule of Law dalam
arti yang klasik, seperti yang dikemukakan oleh A.V. Dicey dalam Introduction
to the Law of the Constitution mencakup:
a.
Supremasi aturan-atuTlln hukum (supremacy of the law); tidak adanya kekuasaan
sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya
boleh dihukum kalau melanggar hukum.
b.
Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). DaliI ini
berlaku baik untuk orang biasa, maupun untuk pejabat.
c.
Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di negara lain oleh
undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan.4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar